Fisiologi
Gastrointestinal
TINJAUAN PUSTAKA
“Usus halus terletak di dalam rongga abdomen terbentang
dari lambung ke duodenum, jejunum, dan ileum (usus halus) dan berlanjut ke usus
besar. Dalam usus halus terjadi segmentasi yang merupakan kontraksi yang
melakukan pencernaan, pencampuran dan pendorongan kimus secara perlahan
menelusuri usus halus. Segmentasi ini
terdiri dari kontraksi-kontraksi berbentuk cincin di sepanjang usus halus
dimana terjadi kontraksi yang bergantian yaitu saat segmen yang satu melemas
maka segmen yang satu di sampingnya akan berkontraksi. Kontraksi ini menjadikan
pencampuran kymus di usus halus lebih merata di dalam lumennya. pada usus halus
pencernaan selanjutnya di mulai pada duodenum yang merupakan tempat muaranya
getah pancreas dan cairan empedu.
Segmentasi duodenum di mulai terutama sebagai respon terhadap peregangan
local yang di timbulkan pada saat ketika kymus mulai keluar dari sfingter
pylorus ke duodenum. Segmentasi yang
lain terjadi pada ileum yang merupakan
reflex gastro ileum, dimana kymus
memasuki duodenum sedangkan ileum masih dalam keadaan kosong segmentasi ini di
timbulkan oleh gastrin yang di sekreskan oleh reflex gastro ileum tadi.
Setelah mengalami berbagai aksi di
dalam duodenum kymus tersebut kemudian melewati jejunum yang merupakan bagian
usus halus yang bersambungan dengan duodenum. Pada duodenum ini terjadilah
penyerapan makanan dan air yang kemudian berlanjut pada ileum yang melakukan
fungsinya dengan menyerap sisa-sisa nutrient yang belum tersserap di jejunum.
Pada saat kymus berada di ileum reflek gastro ileum mendorongnya ke arah katup
ileocecal, terkadang kymus itu tertahan di depan katup ileocecal tersebut
sampai penambahan bolus yang baru kedalam lambung atau sampai seseorang makan
kembali.
Setelah masuk melewati katup
ileocecal, kymus tersebut berjalan ke dalam lumen usus besar yang berfungsi
sebagai absorpsi air dan elektrolit dsri kymus untuk menjadi feses dsan juga
penimbunan bahan feses sampaim dapat di keluarkan dengan melakukan metode
motilitas kolon berupa kontraksi otot
sirkular dan otot longitudianal yang terkumpul menjadi tiga pita longitudinal
(taenia coli ) yang di sebut kontraksi haustra yg dimulai oleh ritmisitas
otonom sel otot polos kolon. Gerakan haustra secara perlahan mengaduk isi kolon
melalui gerakan maju mundur yang menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa
absorptive.
Setelah makan terjadi peningkatan nyata motilitas
berupa kontraksi masif yang disebut
gerakan massa yang mendorong isi kolon ke distal lalu disimpan sampai terjadi
defekasi . kontraksi haustra ini berlangsung lambat tetapi tetap persisten yang membutuhkan waktu 8-15 jam
untuk menggerakan kymus dari katp ileosecal kolon. Kontraksi haustra ini dikontrol
oleh reflex-refleks local yang melibatkan fleksus intrinsic sepanjang usus
besar yang sebelumnya kymus tersebut harus melewaati berbaagai setruktur di
dalam usus besar (colon) tersebut. yang di awali dengan melewati caeceum yang
setrukturnya mirip kantung dan merupakan bagian yang pertama menyusun usus
besar diliputi oleh peritoneum dan berdiameter 7.5 cm. Pada tepi cecum ini terdapat lubang yang
menuju usus yang tidak memiliki setruktur lanjutan atau usus buntu atau di
sebut apendik vermiformis yang berbentuk seperti cacing dan mengandung banyak
jaringan limfoid.
Setelah melewati ceceum kymus
berjalan melewati colon-colon usus yang berurutan melewati colon ascendens yang
memiliki ukuran panjang sekitar 13 cm
dan berlokasi di region iliaca dektra, dan kemudian berlanjut ke dalam
colon transsversum yang memiloki ukuran panjang sekitar 38 cm, tergantung ke
bawah pada mesocolon transversum dan terletak diantara flexura coli dektra
(flexura coli hepatica) dan flekura coli sisnistra (flexura ilenalis),
perjalanan kymus selanjutnya menuju colon yang ukurannya sekitar 25 cm pada region iliaca sinistra dan
berjalan dari flexura coli sinistra ke bawah sampai ke pinggir pelvis yaitu
colon descenden yang kemudian melanjutkan diri menjadi colon sigmoid yang
nantinya akan di lanjutkan ke rectum dan kanal anal (anus).” (Sherwood, 2012)
MEKANISME
KONTRAKSI USUS
“Nama lain dari kontraksi pada
sistem pencernaan adalah motilitas usus. Motilitas adalah kontraksi otot yang
mencampur dan mendorong maju isi saluran cerna. Otot polos di dinding saluran
cerna mempertahnkan suatu kontraksi tingkat rendah yang disebut juga sebagai
tonus. Fungsi tonus adalah untuk mempertahnkan tekanan tetap pada isi saluran
cerna serta untuk mencegah dindingnya teregang permanen setelah mengalami
distensi.
Gerakan dari motilitas ini juga
terbagi menjadi dua, yaitu gerakan propulsif dan gerakan mencampur. Gerakan
propulsif adalah gerakan mendorong maju isi saluran cerna, dengan kecepatan
pergerakan bervariasi yang bergantung pada fungsi yang dilakukan oleh saluran
cerna tersebut. Gerakan mencampur adalah gerakan mencampur makanan dengan getah
makanan (untuk meningkatkan kinerja pencernaan) dan juga mempermudah penyerapan
dengan meletakkan semua bagian isi saluran cerna ke permukaan serap saluran
cerna. Pergerakan ini semua sebagian besar terjadi karena adanya kontraksi otot
polos.
Motilitas pada usus halus, terbagi menjadi dua,
yaitu segmentasi dan migrating motility complex
1.
Segmentasi
Segmentasi
adalah gerakan mencampur dan mendorong kimus secara perlahan. Segmentasi ini
terdiri dari kontraksi otot polos sirkular yag berulang dan berbentuk cincin di
sepanjang usus halus. Di antara segmen-segmen yang berkontraksi, terdapat kius
di daerah-daerah rileks.
Cara
kerja dari segementasi ini adalah sebagai berikut. Cincin kontraktil membagi
usus halus menjadi segmen-segmen kecil. Setelah itu, segmen-segmen yang
berkontraksi melemas, dan kontraksi berbentuk cincin muncul di bagian yang
sebelumnya melemas tersebut. Kontraksi baru mendorong kimus di bagian yang
semula rileks untuk bergerak kekdua arah ke bagian-bagian yang kini mlemas di
sampingnya. Karena itu, segman ynga baru melemas menerima kimus dari kedua
segmen yang berkontraksi tepat di belakang dan di depannya. Segera setelahnya,
bagian-bagian yang berkontraksi dan melemas kembali berganti.
Fungsi
dari segmentasi ini adalah untuk mencampur kimus dengan getah pencernaan yang
disekresikan ke dalam lumen usus halus. Selain itu, meletakkan semua kimus ke
permukaan absorptif mukosa usus halus. Segmentasi bekerja membagi kimus menjadi
dua arah, yaitu ke depan dan kebelakang. Namun, kimus dapat terus maju
menelusuri usus halus. Hal tersebut dikarenakan frekuensi segmentasi menururn
di sepanjang usus halus. Sel-sel pemacu di duodenum secara spontan mengalami
depolarisasi lebih cepat daripada sel-sel serupa yang ada di bagian hilir usus
dengan kontraksi segmentasi terjadi di duodenum pada kecepatan 12 kali per
menit dibandingkan dengan hanya 9 kali per menit pada ileum. Karena itu, kimus
lebih terdorong untuk maju dari untuk mundur. Isi usus halus ini memerlukan
setidaknya 3-5 jam untuk melintasi usus halus dengan cara ini.
Kontraksi
segmentasi terjadi dimulai oleh adanya sel-sel pemacu ususu halus yang
menghasilkan BER (irama listrik basal). BER usus halus membawa lapisan otot
polos sirkular ke ambang, lalu terjadilah suatu kontraksi segmentasi, dengan
frekuensi segmentasi itu sendiri mengikuti frekuensi BER. Intensitas kontraksi
segmentasi dapat dipengaruhi oleh regangan usus, hormon gastrin, dan oleh
aktivitas ekstrinsik. Pengaruh tersebut terjadi dengan cara menggeser potensial
awal sekitar mana BER berosilasi mendekati atau menjauhi ambang. Segmentasi
berkurang atau berhenti di antara waktu makan tetapi menjadi kuat segera
setelah makan. Saat makanan masuk ke usus halus, duodenum mulai melakukan
kontraksi segmentasi karena adanya peregangan lokal yang ditimbulkan oleh
keberadaan kimus. Sedangkan segmentasi ileum juga bekerja, walaupun tidak ada
makanan Hal tersebut diakrenakan adanya gastrin yang disekresikan sebagai
respons terhadap keberadaan kimus di lambung, disebut juga refleks gastroileum.
Stimulasi parasimpatis meningkatkan segmentasi, sementara stimulasi simpatis
menekan aktivitas segmentasi.
Gambar 1 : segmentasi usus halus
2.
Migrating Motility Complex
Sebagian
makanan telah diserap, kontraksi segmentasi berhenti dan diganti (antara waktu
makan) oleh migrating motility complex. Migrating Motility Complex adalah motilitas di antara waktu makan yang
berbentuk gelombang peristaltik lemah berulang yang bergerak dalam jawak pendek
ke hilir sebelum lenyap. Gelombang ini bermigrasi dari usus halus ke ujung
kolon, dengan setiap kontraksi yang dikerjakan menyapu maju sisa-sisa makanan
sebelumnya ditambah debris mukosa dan bakteri menuju kolon. Setelah akhir usus
halus tercapai, siklus dimulai kembali dan terus berulang sampai kedatangan
makanan berikutnya. Kerja ini diatur di antara waktu makan oleh hormon motilin,
yang disekresikan selama keadaan tidak makan oleh sel-sel endokrin mukosa usus
halus. Pelepasan motilin itu sendiri dihambat oleh makan.” (Sherwood, 2012)
PENGATURAN
NEURAL
“Pengaturan
GastroIntestinal oleh sistem saraf terdiri dari persarafan intrinsik (enterik)
dan inervasi ekstrinsik. Fungsi dari persarafan ini adalah untuk memonitor dan
mengatur proses yang terjadi di GastroIntestinal.
Persarafan intrinsik terdiri dari dua pleksus yaitu
pleksus mienterikus dan pleksus submukosa. Pleksus mienterikus atau pleksus
Aurbach sesuai namanya terletak di lapisan muskular antara otot polos sirkular
dan otot polos longitudinal. Sedangkan pleksus submukosa atau pleksus Meissner
terletak di lapisan submukosa. Sistem saraf intrinsik ini terdiri dari motor
neuron, sensorik, dan interneuron. Karena motor neuron pleksus mienterikus
sebagian besar menginervasi otot polos longitudinal dan sirkular, pleksus ini
sebagai pengontrol motilitas GastroIntestinal. Sedangkan pada pleksus submukosa
motor neuronnya kebanyakan mempersarafi sel sekret di epitel mukosa, sehingga
pleksus ini sebagai pengontrol sekresi organ traktus GastroIntestinal.
Interneuron persarafan intrinsik berfungsi sebagai penghubung pleksus submukosa
dan mienterikus. Sedangkan saraf sensorik yang bertugas di epitel mukosa
berguna sebagai kemoreseptor, stretch receptor yang teraktivasi apabila dinding
organ gastrointestinal terisi makanan.
Persarafan
ekstrinsik dari gastrointestinal dipersarafi oleh sistem saraf otonom. Bagian
parasimpatis dipersarafi oleh nervus vagus yang hampir mempersarafi traktus GI
secara keseluruhan kecuali setengah bagian akhir dari usus besar yang
dipersarafi oleh serat saraf dari medula spinalis yaitu nervus pelvis. Kontrol
persarafan ekstrinsik ini baik simpatik maupun parasimpatik membentuk hubungan
dengan sistem saraf enterik dengan persambungan ke pleksus mienterikus dan
pleksus submukosa tempat sistem saraf intrinsik (enterik) terususun rapi. Saraf
otonom dapat mempengaruhi motilitas dan sekresi saluran pencernaan melalui
modifikasi aktivitas yang sedang berjalan di pleksus-pleksus sistem saraf
intrinsik. Sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang mempersarafi jaringan
tertentu menimbulkan efek yang bertentangan di pencernaan. Sistem saraf
simpatis bekerja menghambat/memperlambat kontraksi dan sekresi saluran
pencernaan. Sistem saraf parasimpatis bekerja sebaliknya yaitu meningkatkan
kerja dengan cara menaikkan motilitas dan sekresi enzim serta hormon pencernaan
meningkat.
Kendali usus yang paling penting
adalah aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus
intramural (Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan
kerusakan medula spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan pasien
dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena
pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner (Taylor,
2005).
REFLEKS
Perangsang
agar terjadi refleks : distensi lumen saluran GI, osmoloritas kimus, keasaman
kimus dan hasil digestif (karbohidrat, lemak, protein). Reseptor yang terletak
di GI merupakan mekanoreseptor (untuk mengetahui distensi saluran GI),
osmoreseptor (untuk mengetahui proses osmosis), kemoreseptor (untuk melihat pH
dan kandungan-kandungannya).
Jenis
refleksnya dibagi menjadi dua, yaitu refleks panjang dan refleks pendek.
Pemberian nama sesuai panjang jalur yang dilewatinya. Refleks panjang jalurnya
lewat pusat dulu contoh peristiwa: saat mencium bau makanan memicu keluarnya
kelenjar saliva. Contoh lain seperti saat kilta baru melihat, atau memikirkan
makanan, saliva sudah menetes dan tubuh menjadi merasa lapar. Neuron
pathway-nya untuk stimuli dari makanan yang kita lihat: sensoriknya berada di
mata akan terkirim ke saraf ekstrinsik ke otak lalu ke saraf simpatik /
parasimpatik ke interneuron/efferen neuron (ada yang tanpa interneuron langsung
ke GI) lalu ke GI.
Kalau
refleks pendek maka refleks itu berjalan dengan sensorik di GI dan motoriknya
di GI juga misal pada refleks gastrokolik. Resptor di lambung mengirim sinyal
ke saraf di kolon. Efektornya otot polos kolon, sehingga akan terjadi kontraksi
di kolon. Refleks ini biasa terjadi setelah makan. Hasilnya orang yang
bersangkutan setelah makan akan langsung ke belakang. Yang dikeluarkan di feses
adalah sisa makanan yang kemari bukan yg baru masuk. Refleks in bertugas untuk
mendorong sisa2 makanan yang ada di GI sehingga makanan baru bisa masuk.Ada
juga refleks Refleks duodenocolika. Refleknya mirip gastrokolik cuman bedanya
makanan yang menstimulus ada di duodenum, efektornya sama yaitu kolon. Menurut
kuliah refleks ini paling penting. Karena refleks ini tidak melibatkan otak
dalam pengorganisasian rangsang yang diterima, maka prof Greshon menyebut bahwa
di GI itu ada otak kita yang kedua atau disebut juga otak kecil atau otak
enterik. (Taylor, 2005)
PENGARUH
ACH
“Asetilkolin adalah salah satu
neurotransmitter yang digunakan oleh saraf. Asetilkolin atau yang disebut juga
sebagai ACh, adalah neurotransmitter yang digunakan oleh serat praganglion
simpatis dan parasimpatis. Ach juga digunakan sebagai neurotransmitter serat
pascaganglion parasimpatis. Serat ini mengeluarkan asetilkolin. Serat ini,
bersama dengan semua serat praganglion otonom, disebut juga sebagai serat
kolinergik.
Serat otonom pascaganglion ini
tidak berakhir di satu benjolan terminal saja (synaptic knob). Namun,
cabang-cabang terminal serat otonom memiliki banyak pembengkakan atau benjolan,
yang disebut sebagai varicosities, yang secara bersamaan megeluarkan
neurotransmitter ke suatu daerah luas di organ yang disarafi dan bukan hanya
untuk ke satu sel saja. Pelepasan neurotransmitter yang difus ini, disertai
kenyataan bahwa setiap perubahan aktivitas listrik yang terjadi menyebar ke
seluruh massa otot polos atau otot jantung (pada usus halus, yang berlaku
adalah otot polos)melalui taut celah, meyebabkan aktivitas otonom biasanya
mempengaruhi organ keseluruhan bukan sel-sel tertentu.” (Sherwood, 2012)
Ach juga berperan dalam persisteman
parasimpatis, yaitu sebagai neurotransmitter pascaganglion. Sistem parasimpatis
sangat berperan dalam sistem pencernaan. Sistem ini mendominasi pada keadaan
tenang dan santai. Pada keadaan tanpa ancaman, tubuh berkonsentrasi
melaksanakan aktivitas normalnya, misalnya pencernaan. Sistem parasimpatis
merupakan tipe rest and digest, yaitu istirahat dan cerna sekaligus
memperlambat aktivitas-aktivitas yang ditingkatkan oleh sistem simpatis.
Sebagai contoh, efek stimulasi parasimpatis pada sistem pencernaan adalah
sebagai berikut :
1. Meningkatkan
motilitias organ pencernaan
2. Relaksasi
sfingter (untuk memungkinkan gerakan maju isi saluran cerna)
3. Stimulasi
sekresi pencernaan
4. Stimulasi
sekresi pankreas eksokrin (untuk pencernaan)
5. Pengeluaran
banyak liur encer kaya enzim
PENGARUH
ION CA
Ion Ca sangat diperlukan dalam
mekanisme kontraksi otot polos. Jika ion Ca tidak ditemukan dalam suatu otot
polos, maka otomatis, kontraksi otot tidak terjadi. Hal tersebut dikarenakan Ca
merupakan pengaktivasi miosin kinase yang diperlukan untuk proses kontraktil.
Berikut adalah proses yang terjadi pada mekanisme kontraksi otot polos :
1. Pada
saat sebuah hormon berikatan pada reseptor di membran maka akan mengaktifkan
sebuah molekul G protein akibat terjadinya mekanisme depolarisasi membran
plasma.
2. Akibat
depolarisasi membran plasma akan membuka kanal Ca di permukaan membran plasma
dan memicu proses difusi Ca melalui kanal Ca yang kemudian akan berkombinasi
dengan calmodulin.
3. Calmodulin
dengan Ca yang telah membentuk ikatan kemudian melekat pada miosin kinase dan
mengaktivasi protein kinase ini (miosin adalah salah satu protein yang juga berperan
penting dalam mekanisme kontraksi otot polos).
4. Aktivasi
miosin kinase menempelkan fosfat dari ATP pada kepala miosin untuk mengaktifkan
proses kontraktil.
5. Kemudian
terjadilah sebuah siklus cross-bridge formation, pergerakan, dan
pelepasan ikatan protein kontraktil yang terlibat. Siklus ini yang menyebabkan
otot dapat berkontraksi secara terus-menerus (disesuaikan dengan siklus
relaksasi juga).
Gambar 2 :
Mekanisme kontraksi otot polos
PENGARUH
PILOKARPIN
“Pilokarpin memiliki efek yang sama
dengan asetilkolin. Pilokarpin termasuk dalam obat parasimpatometik yang
langsung bekerja pada reseptor kolinergik tipe muskarinik. Perbedaanya adalah
pilokarpin dapat menimbulkan efek yang luas parasimpatis yang khas, dan tidak
mudah tidak begitu cepat dirusak oleh kolinesterase yang terdapat dalam darah
dan cairan tubuh. Sedangkan, asetilkolin tidak mempunyai efek yang sama persis
di selurruh tubuh karena sebelum mencapai organ efektor, telah dirusak terlebih
dahulu oleh kolinesterase.” (Guyton, 2011)
PENGARUH
SUHU
“Gerakan usus dapat dipengaruhi
oleh suhu. Suhu normal tubuh membuat usus dapat melakukan gerak peristaltiknya
secara normal. Saat usus diberikan perlakuan dingin, maka yang terjadi adalah
gerakan usus semakin melambat. Hal tersebut dapat dilihat dari amplitudonya
yang semakin mengecil. Kemudian, usus diberikan perlakuan panas yang
menyebabkan gerakan usus semakin cepat. Akan tetapi, bukan berarti dengan suhu
yang semakin panas (di atas normal) usus dapat bergerak lebih cepat lagi. Hal
ini dikarenakan oleh faktor enzim. Enzim hanya dapat bekerja dalam keadaan suhu
tubuh normal.”(Hernawati, 2010)
PENGARUH
ION BARIUM
“Ion barium mempunyai efek yang
sangat kuat terhadap gerakan usus. Kerja obat ini analog dengan pilokarpin dan
asetilkolin, karena meningkatkan gerakan usus.” (Guyton, 2011)
KERUTAN USUS DI LUAR BADAN
Tujuan
Instruktional Umum :
Memahami pengaruh pelbagai faktor pada kerutan usus
di luar badan
Tujuan
Perilaku Khusus :
1. Menjelaskan
pengaruh :
-
Epinefrin
-
AsetilKolin
-
Ion Kalsium
-
Pilokarpin
-
Suhu
-
Ion Barium
2. Menjelaskan
tujuan pengaliran udara ke dalam cairan perfusi
3. Menjelaskan
tujuan mempertahankan suhu larutan Locke di dalam tabung perfusi pada suhu 35oC
selama percobaan, kecuali percobaan pengaruh suhu
4. Memberi
batasan mengenai Q10
Alat,
Sediaan dan Bahan Kimia Yang Diperlukan :
1. Kaki
tiga + kawat kassa
2. Gelas
beker pireks 600cc
3. Statif
4. Tabung
perfusi usus dengan klemnya
5. Pipa
kaca bengkok untuk perfusi
6. Pipa
karet dan kompressor udara
7. Termometer
kimia
8. Pencatat
gerakan usus
9. Signal
magnet + kawat listrik
10. Kimokraf
rangkap
11. Sepotong
usus halus kelinci dengan panjang 3cm (dibagikan oleh asisten yang bertugas)
12. Larutan
:
-
Locke biasa dan Locke bersuhu 35oC
-
Epinefrin 1:10.000
-
Locke tanpa kalsium
-
CaCl2 1%
-
Asetilkolin 1:1.000.000
-
Pilokarpin 0,5%
-
BaCl2 1%
13. Es
+ Waskom
Cara
Kerja :
1. Susunlah
alat menurut gambar
2. Hangatkan
air dalam gelas beker pireks sehingga larutan Locke di dalam tabung perfusi
mencapai suhu 35oC
3. Mintalah
sepotong usus halus kelinci kepada asisten yang bertugas
4. Pasang
sediaan usus tersebut sebagai berikut :
5. Alirkan
udara ke dalam larutan Locke dalam tabung perfusi dengan mengatus klem pengatur
aliran udara, sehingga gelembung udara tidak terlalu menggoyangkan sediaan usus
yang telah dipasang itu
6. Selama
percobaan, perhatikan suhu larutan Locke ke dalam tabung perfusi yang harus
dipertahankan pada 35OC, kecuali bila ada petunjuk lain.
I.
Pengaruh
Asetilkolin
7. Catat
10 kerutan usus sebagai kontrol
8. Tanpa
mengehentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan asetilkolin 1:1.000.000.000 ke
dalam cairan perfusi. Beri tanda saat penetesan.
9. Teruskan
dengan pencatatan sampai pengaruh asetilkolin terlihat jelas
10. Hentikan
tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh asetilkolin
sebagai berikut :
10.1
Pindahkan kaki tiga + kawat basa dan gelas beker pireks dari tabung perfusi
10.2
Letakkan waskom kosong di bawah tabung perfusi
10.3
Bukalah sumbat tabung perfusi sehingga cairan perfusi keluar sampai habis
10.4
Tutup kembali tabung perfusi dan isilah dengan larutan Locke yang baru (tidak
perlu bersuhu 35oC ) dan besarkan aliran udara sehingga usus bergoyang-goyang.
10.5
Buka lagi sumbat untuk mengeluarkan larutan Lockenya
10.6
Ulangi langkah 10.4 dan 10.5 sebanyak dua kali, sehingga dapat dianggap sediaan
usus telah bebas dari pengaruh asetilkolin
10.7
Setelah selesai hal-hal di atas, tutup kembali tabung perfusi dan isilah dengan
larutan Locke baru yang bersuhu 35oC (disediakan) serta atur kembali aliran
udaranya.
10.8
Pasang kembali gelas beker pireks, kaki tiga + kawat kasa
II.
Pengaruh
Epinefrin
11. Catat
10 kerutan usus sebagai kontrol pada tromol yang berputar lambat, tetapi setiap
kerutan masih tercatat terpisah
12. Catat
waktunya dengan interval 5 detik
13. Tanpa
menghentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan epinefrin 1:10.000 ke dalam
cairan perfusi. Beri tanda saat penetesan. Bila 2 tetes tidak memberikan hasil
setelah 5-10 kerutan, tambahkan beberapa tetes lagi
14. Teruskan
pencatatan sampai pengaruh epinefrin terlihat jelas
15. Hentikan
tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh epinefrin seperti
langkah pada 10 butir.
III.
Pengaruh
Ion Kalsium
16. Catat
10 kerutan usus sebagai kontrol
17. Hentikan
tromol dan gantilah larutan Locke dalam tabung perfusi dengan larutan Locke
tanpa Ca yang bersuhu 350C (disediakan).
18. Jalankan
kembali tromol dan catatlah terus sampai pengaruh kekurangan ion Ca terlihat
jelas.
19. Tanpa
menghentikan tromol, teteskan 1 tetes CaCl2 1% ke dalam cairan
perfusi. Beri tanda saat penetesan.
20. Teruskan
dengan pencatatan sampai terjadi pemulihan. Bila pemulihan tidak sempurna,
gantilah cairan dlam tabung perfusi dengan cairan Locke baru bersuhu 350C
IV.
Pengaruh
Pilokarpin
21. Catat
10 kerutan usus sebagai kontrol
22. Tanpa
menghentikan tromol, teteskan 5 tetes larutan pilokarpin 0,5% ke dalam cairan
perfusi. Beri tanda saat penetesan
23. Teruskan
dengan pencatatan, sehingga pengaruh pilokarpin terlihat jelas
24. Hentikan
tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh pilokarpin seperti
langkah pada butir 10
V.
Pengaruh
Suhu
25. Catat
10 kerutan usus sebagai kontrol pada suhu 35oC
26. Hentikan
tromol dan turunkan suhu cairan perfusi dengan jalan mengganti air hangat di
dalam gelas beker pireks dengan air biasa
27. Segera
setelah tercapai suhu 30oC, jalankan tromol kembali dan catatlah 10
kerutan usus
28. Hentikan
tromol lagi dan ulangi percobaan ini dengan setiap kali menurunkan suhu cairan
perfusi 5oC, sampai tercapai suhu 20oC dengan jalan
memasukkan potongan es ke dalam gelas beker, sehingga diperoleh pencatatan
keaktifan usus pada suhu 35oC, 300C, 250C dan
200C
29. Hentikan tromol dan naikkan suhu cairan
perfusi sampai 35oC dengan jalan mengganti air es di dalam gelas
beker dengan air panas
30. Segera
setelah tercapai suhu 35oC, jalankan tromol kembali dan catat 10
kerutan usus.
VI.
Pengaruh
Ion Barium
31. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol
32. Tanpa
menghentikan tromol, teteskan 1 tetes larutan BaCl21% ke dalam cairan
perfusi. Bila 1 tetes tidak memberikan hasil setelah 5-10 kerutan yang tidak
berhasil.
33. Teruskan
dengan pencatatan, sehingga pengaruhnya terlihat jelas
HASIL
PEMBAHASAN
Pengaruh Ach
Pemberian Ach pada usus menyebabkan kontraksi usus yang maksimal karena
amplitudo mencapai ambang batas dari kontraksi, bahkan bisa dilihat bahwa
amplitudo Ach menduduki tempat tertinggi dari berbagai penambahan lainnya. Ach
dilepaskan dari saraf pasca ganglion parasimpatis, dengan reseptornya
kolinergik muskarinik. Saat diberikan penambahan Ach, hal ini digunakan sebagai
analog dari Ach yang dilepaskan di dalam tubuh yang menandakan bahwa terjadi
peningkatan rangsangan parasimpatis di usus, yang mengakibatkan permeabilitas
Ca ekstraselular meningkat, sehingga kerja
otot longitudinal usus meningkat. Hasilnya : peningkatan amplitudo usus yang
direkam oleh tromol
Dalam kehidupan sehari-hari, saraf otonom simpatis dapat terjadi
ketika kita sedang santai dan tenang, misalnya ketika kita sedang duduk tenang,
maka saraf parasimpatis akan memicu pengeluaran reseptor asetilkolin pada
postganglion, yang nantinya akan memicu kerja dari pencernaan kita.
Pengaruh Epinefrin
Pemberian
dari epinefrin pada praktikum ini adalah bertujuan untuk menguji pengaruh dari
epinefrin yang dihasilkan oleh medula suprarenal terhadap kinerja
peristaltik dari usus. Epinefrin dilepaskan dari reseptor adrenergik dari post
ganglion simpatis. Berdasarkan dari dasar teori di atas, dapat diketahui bahwa
epinefrin merupakan hormon pemicu kerja saraf simpatis, sehingga hasil dari
praktikumnya dapat diperkirakan. Dalam hasil praktikum yang dilakukan, ketika
air yang menggenangi usus kelinci diberi 2 tetes epinefrin 1:10.000 maka selang
beberapa saat terjadi penurunan dari gerak peristaltik pada usus. Penurunan ini
dapat diketahui dari penurunan grafik garis yang dibentuk oleh tromol. Dari
percobaan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hormon epinefrin dapat menurunkan
kinerja dari usus. Epinefrin menghambat kerja otot longitudinal tetapi
mengaktifasi otot sirkular. Karena pada praktikum ini yang dapat diamati adalah
kerja dari otot longitudinal, maka hasilnya terjadi penurunan amplitudo yang
dicatat oleh tromol.
Dalam
kehidupan sehari-hari penurunan ini biasa terjadi ketika sistem otonom kita
sedang mengaktifkan sistem simpatisnya. Ketika kita sedang dirangsang untuk
mengaktifkan saraf simpatis kita (misalnya dengan berlari) maka simpatis akan
merangsang peningkatan pengeluaran epinefrin oleh medula suprarenal, dimana
salah satu kerja dari epinefrin sudah kita buktikan sebelumnya yakni menurunkan
kerja pencernaan kita, sehingga ketika kita sedang berlari, sistem pencernaan
kita tidak bekerja.
Pengaruh
Ca
Ca diperlukan oleh usus untuk
berkontraksi, karena usus merupakan otot polos. Otot polos memiliki mekanisme
kerja yang sama dengan otot-otot lainnya namun sedikit memiliki perbedaan.
Perbedaannya adalah otot polos termasuk organ otonom yang dapat berkontraksi
tanpa dipengaruhi keinginan untuk mengkontraksikannya. Tetapi mengapa di tromol
amplitudonya menurun ? Hal ini disebabkan oleh adanya Ca yang diberikan tetapi
hanya sedikit sehingga potensial aksi (kenaikan amplitudo) belum terjadi
walaupun sudah diberikan CaCl
Pengaruh
Pilokarpin
Pilokarpin merupakan
parasimpatomimetik, yang bekerja menyerupai kerja saraf parasimpatis. Pada otot
polos longitudinal pada saluran cerna, pengaruh perasimpatis menyebabkan
peningkatan kontraksi usus. Pada percobaan, ketika usus kelinci dalam larutan
Locke ditambahkan 1 tetes pilokarpin, terlihat adanya peningkatan kontraksi
otot polos longitudinal pada usus kelinci. Kemudian, ditambahkan larutan
pilokarpin sebanyak 4 tetes lagi,sehingga jumlah seluruhnya ada 5 tetes
pilokarpin, hal ini bertujuan agar lebih terlihat perbedaannya. Peningkatan
kontraksi otot longitudinal usus kelinci ini dibuktikan dengan peningkatan
amplitude pada pencatat usus, sehingga terlihat tanjakan dan turunan yang lebih
tajam.
Pengaruh
Suhu
Suhu mula-mula larutan Locke yang
berisi usus kelinci adalah 35oC. Untuk mengetahui pengaruh suhu
terhadap kontraksi otot longitudinal usus adalah dengan mengubah suhu cairan.
Ketika suhu cairan diubah menjadi 30oC, terlihat adanya penurunan
kekuatan kontraksi otot longitudinal usus. Kemudian ketika suhu diturunkan menjadi
250C dan seterusnya, penurunan kekuatan kontraksi usus terlihat
semakin jelas. Hal ini membuktikan bahwa
penurunan suhu dapat mengurangi kekuatan kontraksi usus. Karena aktifitas
enzim-enzim terganggu akibat kenaikan suhu yang ekstrim, sehingga terjadi
penghambatan kontraksi usus.
Pengaruh
Barium
Pemberian barium pada usus dapat
menyebabkan spasme otot polos usus,
sehinga meningkatkan kekuatan kontraksi otot polos usus. Hal ini dibuktikan
dengan peningkatan amplitudo pencatat usus yang tajam setelah ditambahkan 1 tetes
barium dalam cairan Locke yang berisi usus kelinci. Barium biasanya merupakan salah satu komposisi dalam obat pencahar. Obat
ini bertujuan agar dapat mengeluarkan isi lumen usus dalam waktu yang relative
singkat. Terbukti, dalam percobaan terlihat dengan jelas perpindahan kimus yang
cepat dalam lumen usus. Namun karena kedua ujung usus dalam kondisi terikat,
maka kimus tersebut tidak keluar. Penambahan barium ini merupakan peningkatan
kontraksi usus yang paling terlihat tajam.
KESIMPULAN
Kontraksi usus membutuhkan Ca dari
eksraselular yang mencukupi. Kontraksi usus dapat meningkat apabila diberikan Ach
neurotransmitter rasangan parasimpatis,
dan dapat menurun apabila diberikan neurotransmitter
rangsangan simpatis berupa Epinefrin. Tetapi kenaikan dan penurunan kontraksi
usus juga dapat dipengaruhi oleh reaksi suhu yang berpengaruh pada aktivitas
enzim, kemudian obat-obatan yang dapat meningkatkan kontraksi usus seperti
obat-obatan yang mengandung ion barium, maupun pilokarpin.
DAFTAR PUSTAKA
Chandrasoma, P.
& Taylor, C.R. 2005. Ringkasan
Patologi Anatomi. Ahli bahasa: Roem Soedoko, Dewi Asih Mahnani. Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. Edisi II
Hernawati. Peranan Syaraf dan Hormon
(Neuroendokrin) dalam Pergerakan Lambung pada Sistem Pencernaan Hewan
Ruminansia. Skripsi. Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA Universitas
Pendidikan Indonesia.; 2010
Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, ed.11th.
Jakarta : EGC; 2011
Lauralee
Sherwood. Fisiologi Manusia: Dari Jaringan ke Sel. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2012.
Wednesday, 3 July 2013
//
Labels:
kerutan usus,
laporan praktikum,
laporan praktikum usus,
refleks usus
//
0
comments
//
0 comments to "Laporan Praktikum Fisiologis: Kerutan Usus dan Refleks Usus"
Sesuatu yang indah belum tentu baik, tapi sesuatu yang baik pasti indah
yang buat Faruq tapi... Powered by Blogger.
*TUGAS PRAKTIK*
About Me

- Dek_Riko
- Kandangan Kediri
- Dalam Hidupku,,, hanya antara aliran takdir dan ikhtiyar...
Renungkan :)
My Friend
Blog Archive
-
▼
2013
(36)
-
▼
July
(31)
- PENGUMUMAN HASIL PBSB 2013
- UNIVERSITAS PADJADJARAN
- UNIVERSITAS NEGERI MALANG
- UNIVERSITAS AIRLANGGA
- UNIVERSITAS BRAWIJAYA
- Laporan Praktikum Fisiologis: Kerutan Usus dan Ref...
- Uji Kolesterol
- Praktikum Uji Hopkins Cole
- PRAKTIKUM FISIOLOGI: SUHU BADAN DAN PENGATURANNYA
- Peran Neurotransmitter pada Komponen Lengkung Refleks
- Mekanisme Eksresi
- Praktikum Lokalisasi Taktil
- Laporan Praktikum Fisiologis: Diskriminasi Taktil
- Laporan Praktikum: DISKRIMINASI TAKTIL
- Uji Millon
- Laporan Praktikum Fisiologis: Kerutan Usus dan Ref...
- Laporan Praktikum Fisiologis: Kerutan Usus dan Ref...
- Laporan Praktikum Fisiologis: Kerutan Usus dan Ref...
- Laporan Praktikum Fisiologis: Kerutan Usus dan Ref...
- Laporan Praktikum Fisiologis: Kerutan Usus dan Ref...
- Laporan Praktikum: Sikap dan Keseimbangan
- TIROID DAN VASKULARISASINYA
- ORGANISASI MAHASISWA KEDOKTERAN: USMR
- HEADACHE : CAUSE AND TREATMENT - SAKIT KEPALA : SE...
- CSS MoRA : Sejarah dan Profil Singkat
- PENGUMUMAN HASIL PBSB KEMENTERIAN AGAMA 2013
- Membuat Message Box dan Dialog Box
- Membuat Message Box dan Dialog Box
- Menjadi Diri yang "Baik"
- Profil Sejarah FKIK (Fakultas Kedokteran dan Ilmu ...
- Bagaimana Cara Lebah Membuat Madu...
-
▼
July
(31)
Popular Posts
-
PERCOBAAN LOKALISASI TAKTIL Tujuan Percobaan : Untuk mengetahui sensitifitas taktil pada anggota tubuh. Dasar Teori : proses y...
-
SIKAP DAN KESEIMBANGAN A. TUJUAN Intruksional Umum - Memahami peran mata dalam pengaturan sikap dan kesei...
-
Fisiologi Gastrointestinal TINJAUAN PUSTAKA “Usus halus terletak di dalam rongga abdomen terbentang dari lambung ke duodenum,...
-
DISKRIMINASI TAKTIL (Ambang Mmebedakan 2 Titik Rangsang Taktil) Tujuan : Untuk mengetahui diskriminasi taktil di berbagai bagian...
-
MEKANISME KONTRAKSI USUS “Nama lain dari kontraksi pada sistem pencernaan adalah motilitas usus. Motilitas adalah kontraksi otot yang menc...
-
Anda bisa menampilkan kotak pesan peringatan untuk memberikan pengumuman, memberikan informasi, atau memperingati pembaca sebelum me...
-
Universitas isam negeri syarif hidayatullah Jakarta merupakan universitas islam tertua di Indonesia yang berpusat di Jakarta selatan te...
-
UJI MILLON Tujuan : Membuktikan jaringan saraf memiliki asam amino yang mengandung inti benzene Dasar teori : ...
-
ISTILAH-ISTILAH DALAM ORGANISASI NAHDLATUL ULAMA 2.1 Fikrah Nahdliyah Yang dimaksud Fikrah Nahdliyah adalah kerangka berpikir yang dida...
-
LOSS HEARING 1.1 definisi dan klasifikasi Ketulian (hearing loss) merupakan sebuah masalah umum yang disebabkan oleh suara, penuaan, penya...

Post a Comment