Nahdlatul Ulama

ISTILAH-ISTILAH DALAM ORGANISASI NAHDLATUL ULAMA
2.1 Fikrah Nahdliyah
Yang dimaksud Fikrah Nahdliyah adalah kerangka berpikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah Waljama’ah yang dijadikan landasan berpikir Nahdlatul Ulama (Khithah Nahdliyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka islahul ummah (perbaikan umat).
            Metode berpikir ke-NU-an:
            Dalam merespon persoalan, baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul ‘Ulama memiliki manhaj Ahlussunnah Waljama’ah sebagai berikut:
1.      Dalam bidang Aqidah/teologi, Nahdlatul Ulama mengikuti manhaj dan pemikiran Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansyur al-Maturidi.
2.      Dalam bidang Fiqih/Hukum Islam, Nahdlatul Ulama bermadzhab secara qauli dan manhajj kepada salah satu Madzahibul Arba’ah(Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali)
3.      Dalam bidang Tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti Imam Junaidi al-Baghdadi (wafat tahun 297 H) dan Abu Hamid al-Ghazali (lahir tahun 450 H. dan wafat tahun 505 H. Bertepatan dengan tahun 1058 M 1111 M).


Ciri-ciri Fikrah Nahdliyah:
1.      Fikrah tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith atau ifrath.
2.      Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.
3.      Fikrah Ishlahiyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al Ishlah ila ma huwa al-ashlah).
4.      Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
5.      Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.
Ide dan konsep Fikrah Nahdliyah iini pertama kali diajukan oleh K.H. Achmad Siddiq pada tahun 1969 M, yang selanjutnya menjadi embrio gerakan Khitthah pada tahun 1984 M, pada muktamar-muktamar selanjutnya selalu menjadi acuan dalam komisi bahtsul masail maudhu’iyah.

2.2  Bahtsul Masail
NU dalam struktur organisasinya memiliki suatu Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Sesuai dengan namanya, Bahtsul Masail, yang berarti pengkajian terhadap masalah-masalah agama, LBM berfungsi sebagai forum pengkajian hukum yang membahas  berbagai masalah keagamaan.
            Tugas LBM adalah menghimpun, membahas, dan memecahkan masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum. Oleh karena itu, lembaga ini merupakan bagian terpenting dalam organisasi NU, sebagai forum diskusi alim ulama atau Syuriah dalam menetapkan hukum suatu masalah yang keputusannya merupakan fatwa dan berfungsi sebagai bimbingan bagi warga NU dalam mengamalkan agama sesuai dengan paham Ahlussunnah Waljama’ah.
Mekanisme kerjanya, semua masalah yang masuk ke lembaga ini diinventarisir, kemudian disebarkan ke seluruh ulama, anggota syuriah, dan para pengasuh pondok pesantren yang ada di bawaah naungan NU. Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap masalah itu dan dicarikan rujukan dari pendapat-pendapat ulama madzhab melalui kitab kuning (klasik). Selanjutnya mereka bertemu dalam satu forum ini sering kali mereka harus berdebat keras mempertahankan dalil yang dibawanya, sampai akhirnya ditemukan dasar yang paling kuat. Barulah ketetapan hukum ini diambil bersama.
Pada umumnya rujukan itu mengikuti pendapat Imam Syafi’I karena madzhab ini paling banyak diikuti kaum muslimin dan lebih sesuai dengan kondisi sosial,budaya, dan geografis Indonesia. Jika pendapat Imam Syafi’I tidak tersedia, maka pendapat ulama yang lain diambil, sejauh masih dalam lingkungan madzhab yang empat (Hanafi, Syafi’I, Maliki, dan Hambali) . Meskipun semua dasar selalu merujuk pada pendapat ulama’ pendahulu, namun kondisi masyarakt selalu dijadikan pertimbangan dalam penetapannya.
K.H. Syansuri Badawi, salah seorang kiyai NU, mengatakan bahwa ijtihad yang dilakukan para ulama NU dalam Bahtsul Masail adalah bentuk qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu dilakukan sejauh tidak ada qaul (pendapat) para ulama yang dapat menjelaskan masalah itu. Qiyas dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan al Qur’an dan al Hadits. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam Syafi’I bahwa ijtihad itu adalah qiyas.
Ketika mengahadapi masalah serius kekinian yang di masa lalu peristiwa itu belum pernah terjadi, LBM selalu meminta penjelasan terlebih dahulu kepada ahlinya. Di saat akan menjatuhkan hukum asuransi, LBM mengundang para praktisi asuransi. Begitu juga ketika akan membahas operasi kelamin, LBM juga mengundang mereka yang terkait dengan masalah itu, seperti waria yang akan melakukan operasi, dokter yang akan menangani dan juga psikolog. Bahkan ketika akan membahas praktek jual beli emas sistem berantai gaya Gold Quest, LBM mengundang kepala perwakilan Gold Quest  untuk wilayah Asia. Mereka pun datang dan menjelaskan seluk beluk bisnis itu secara terbuka di depan para ulama. Setelah kasusnya jelas, barulah dikaji lewat kitab kuning. 















                                                                                                                                       


0 comments to "Nahdlatul Ulama"

Post a Comment

Sesuatu yang indah belum tentu baik, tapi sesuatu yang baik pasti indah

yang buat Faruq tapi... Powered by Blogger.
Update search^-^


Gambar
Lingkungan sekitar
Model Hape

Recent Posts

About Me

My photo
Kandangan Kediri
Dalam Hidupku,,, hanya antara aliran takdir dan ikhtiyar...

Renungkan :)

 

My Friend

Popular Posts

Powered By Blogger
Web hosting for webmasters
[HTML] [/HTML]